Sebuah panggilan telepon masuk dan mengarahkan lokasi kemana saya harus meluncur. Namanya bu Ami warga nglaren, Yogyakarta. Dia adalah seorang penjahit, tinggal tak jauh dari rumah saya. Lokasi rumahnya agak di pelosok pedesaan sehingga beberapa kali saya sempat salah jalan karena penunjuk petanya tak tepat.
“Begitu masuk gapura nanti ikuti jalan dan ketemu anak saya, nanti anaksaya akan antar sampai rumah”, jelas bu Ami ditelpon. Tak lama setelah bertemu si anak, sampailah saya di sebuah rumah sederhana dengan kandang ayam di bagian depannya. Mesin jahit lusuh terpajang di dekat pintu. Sekilas melihat sekeliling rumahnya, begitu sederhana dengan barang-barang yang tak banyak di ruang keluarga. Alas tidur di depan tv tabung, beberapa rak tempat menyimpan kain sisa dan ruangan dua kamar terasa dingin dan lembab.
Saya sempat melihat tumpukan masker di dekat mesin jahit. Saya yakin itu dagangan bu Ami. Dan benar adanya. Dia cerita bahwa sejak pamdemik corona orderannya berhenti total.
“Saya itu biasanya menjahit tas dari kain perca mas, saya kirim ke pasar klewer, Solo tapi sejak corona pasarnya tutup tak lagi ada pesanan,” Sambungnya. Saya memahami hal ini. Tak hanya bu Ami namun juga penjahit lain mengalami hal yang sama. Orderan berhenti, bahan menipis karena pabrik berhenti produksi dana mesin jahit pun tak bekerja. Sembari menunggu orderan jahit, dia membuat masker dengan bahan sederhana. Dijualnya dengan harga murah, hanya untuk meraih untung 500 rupiah.
Saya menyampaikan maksud hati untuk bisa bekerjasama menjahit sebuah tas dengan kapasitas sedikit. Sang ibu pun mengiyakan tanda membutuhkan tawaran apapun. Di tengah pembicaraan, penjahit Ami pun bercerita klo dirinya punya stok pain percaya tiga karung. Saya pikir tas perca yang dia ceritakan itu berdasarkan pesanan sehingga tidak menumpuk stok. “Dia rugi banyak klo stok kain dibiarkan terlalu lama,” pikir saya. Saya pun menawarkan untuk menjualkannya namun butuh sample untuk foto dan identifikasi produk.
Sehari berselang, saya kembali dikirim pesan klo tas perca sudah selesai. Wah, cepat sekali pikir saya. Penjahit Ami memang luar biasa katanya dalam keadaan normal dia bisa menyelesaikan hingga 50 pcs / hari. Bayangan saya dengan Saya pinjam tas yang sudah dijahit, saya foto dan saya promosikan kemana-mana. Belum juga laku namun tetaplah usaha. Saya tahu bahwa daya beli turun, uang ditahan untuk bertahan hidup dan dialokasikan untuk makan dengan waktu yang tak pasti sampai kapan berakhir.
Saya juga paham bahwa jualan saya adalah jualan kebutuhan sekunder bahkan tersier sehingga jelas sekali akan dinomer duakan bahkan jadi pilihan terakhir yang tidak dipertimbangkan. Namun kita harus tetap bekerja. Beradabtasi dan damai dengan covid 19 adalah strategi paling taktis untuk bisa menggerakan ekonomi mikro sekaligus bisa makan.
Dan inilah tas perca buatan bu Ami.
Tas laundry
Keistimewaan tas perca batik bu Ami
Tas ini memang berukuran besar biasa digunakan untuk laundry baju kotor atau baju bersih. Tas ini juga bisa menampung lebih dari 30 lembar baju
Dijahit dari kain perca batik. Kombinasi dengan kain pelipit berwarna sehingga perpaduannya menjadi lebih kontras.
Saya sebut ramah lingkungan karena memanfaatkan potongan kain yang sudah tidak terpakai. Potongan kain ini biasanya cuma dibuang dan dibakar namun ditangan bu Ami, potongan kain ini bisa dijahit, disambung satu dengan yang lain menjadi lembaran bahan tas. Tas ini juga bisa dicuci lalu digunakan kembali sesuai kebutuhan anda.
Tas ini adalah hand made, home industry dan dikerjakan oleh penjahit dirumah masing masing. Membeli tas ini berarti membuat perempuan di kampung kampung mempunyai pekerjaan yang bisa dilakukan dirumah. Ketika mereka mendapat penghasilan tambahan maka kesejahteraan mereka sudah pasti akan meningkat.